>
  • MEMBUMIKAN AKHLAK NABI: HAPPY BIRTHDAY NABIKU
  • Dihadiri oleh Menteri PDT RI, Wakil Menteri Agama RI dan Gubernur NTB
  • Pak Rektor membuka Wokshop KERJASAMA KEMENTERIAN NEGARA PDT RI DENGAN PUSAT PENGEMBANGAN BISNIS IAIN MATARAM Tahap I
  • Pak Wakil Rektor II membuka Wokshop KERJASAMA KEMENTERIAN NEGARA PDT RI DENGAN PUSAT PENGEMBANGAN BISNIS IAIN MATARAM Tahap IIMaulidan bersama Pak Rektor dan Staf Ahli Kementerian PDT
  • Bersama Kementerian PDT RI
  • Maulidan
  • Kerjasama dengan Post Kota NTB
  • Menghadri Pembukaan MTQ tingkat Kec.Gunungsari
  • Temu Alumni Wokshop PDT Tahap I dan II
  • Chak IN di Hotel Jayakarta

Minggu, 26 Januari 2014

AGAMA DAN KULTUR KEKERASAN: Revitalisasi Pemahaman Kegamaan yang Rahmah dan Tasamuh



AGAMA DAN KULTUR KEKERASAN:
Revitalisasi Pemahaman Kegamaan yang Rahmah dan Tasamuh
Oleh: Muhammad Harfin Zuhdi, MA[1]
Prolog
            Sebagai masyarakat beragama (religious society), memori kolektif umat sering diguncang dengan beragam peristiwa yang bersifat rasial, fundamentalisme-radikalisme, collective violence dan terorisme yang dikaitkan dengan  agama tertentu. Oleh karenanya, agama menjadi semacam ancaman yang bisa dengan tiba-tiba datang memberangus kehidupan bersama di muka bumi ini. Ini yang biasa disebut sebagai fenomena paradoksal keberagamaan umat, baik pada level elite politik maupun massa bawah (grass root). Suasana paradoks ini sering terjadi, di satu sisi agama mengajarkan nilai-nilai kebajikan yang luhur dan anti-kekerasan kepada umatnya, namun pada wajah lain, agama (umat beragama) tidak bersahabat, dan ini sering dialamatkan kepada kelompok keagamaan yang dicap radikal-terorisme.  
           Munculnya fundamentalisme, radikalisme dan terorisme dilatarbelakangi oleh berbagai faktor yang sangat kompleks dan pelik. Salah satunya adalah pada aspek pemahaman terhadap ajaran fundamen Islam yang bersifat literal-skriptural, rigid dan cenderung mengarah pada klaim kebenaran. Ciri utama ini berkaitan dengan pemahaman dan interpretasi mereka terhadap doktrin jihad misalnya, yang cenderung bersifat rigit dan literalis. Kecenderungan seperti itu, menurut mereka sangat perlu demi menjaga kemurnian doktrin Islam secara utuh (kaffah). Menurut kaum Islam radikal, doktrin-doktrin yang terdapat di dalam al-Qur’an dan Sunnah adalah doktrin yang bersifat universal dan telah mencakup segala aspek dalam kehidupan manusia dan berlaku tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu.

Geneologi Radikalisme-Terorisme
Radikalisme agama sering disebut dengan al-tatharuf al-diny yang mengandung arti berdiri di ujung, atau jauh dari pertengahan, atau dapat juga diartikan berlebihan dalam berbuat sesuatu. Pada awalnya kata al-tatharuf diartikan untuk hal hal yang bersifat konkrit kemudian dalam perkembangan bahasa, makna ini juga bermakna hal-hal yang bersifat abstrak, seperti berlebihan dalam berfikir dan beragama. Dengan demikian al-tatharuf al-diny adalah segala perbuatan yang berlebihan dalam beragama.
Gejala radikalisme di dunia Islam bukan fenomena yang datang tiba-tiba. Ia lahir dalam situasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang oleh pendukung gerakan Islam radikal dianggap sangat memojokkan umat Islam. Secara politik umat Islam bukan saja tidak diuntungkan oleh sistem, tetapi juga merasa diperlakukan tidak adil. Mereka merasa aspirasi mereka tidak terakomodasi dengan baik karena sistem politik yang dikembangkan adalah sistem kafir yang dengan sendirinya lebih memihak kalangan nasionalis sekuler ketimbang umat Islam itu sendiri.
Menurut Gus Dur, sebagaimana dikatakan Syafi’i Anwar[2] bahwa lahirnya kelompok-kelompok Islam garis keras atau radikal tersebut tidak bisa dipisahkan dari dua sebab. Pertama, para penganut Islam garis keras tersebut mengalami semacam kekecewaan dan alienasi karena ”ketertinggalan” umat Islam dari kemajuan peradaban Barat dan penetrasi budayanya dengan segala eksesnya. Karena ketidakmampuan mereka untuk mengimbangi dampak materialistik budaya Barat, akhirnya mereka menggunakan kekerasan untuk menghalangi ofensif matrealistik dan penetrasi Barat.
Kedua, kemunculan kelompok-kelompok Islam garis keras itu tidak terlepas dari karena adanya pendangkalan agama dari kalangan ummat Islam sendiri, khususnya angkatan mudanya. Pendangkalan itu terjadi karena mereka yang terpengaruh atau terlibat dalam gerakan-gerakan Islam radikal atau garis keras umumnya terdiri dari mereka yang berlatar belakang pendidikan ilmu-ilmu ekstakta dan ekonomi. Latar belakang seperti itu menyebabkan fikiran mereka penuh dengan hitungan-hitungan matematik dan ekonomis yang rasional dan tidak ada waktu untuk mengkaji Islam secara mendalam. Mereka mencukupkan diri dengan interpretasi keagamaan yang didasarkan pada pemahaman secara literal atau tekstual. Bacaan atau hafalan mereka terhadap ayat-ayat suci Al-Qur’an dan Hadits dalam jumlah besar memang mengagumkan. Tetapi pemahaman mereka terhadap substansi ajaran Islam lemah, karena tanpa mempelajari pelbagai penafsiran yang ada, kaidah-kaidah ushul fiqh, maupun variasi pemahaman terhadap teks-teks yang ada.
Secara filosofis, fenomena radikalisme dan pluralisme agama merupakan persoalan yang berhubungan dengan pengalaman inti (core experience), memori kolektif (collective memory) dan penafsiran (interpretation) agama.[3]  Dalam konteks keagamaan, nampaknya istilah radikalisme hingga kini belum ada kesepakatan mengenai istilah yang tepat untuk menggambarkan gerakan radikal.[4] Oliver Roy dalam bukunya The Failure of Political Islam (1994) menyebut gerakan Islam yang berorientasi pada pemberlakuan syariat Islam sebagai Islam Fundamentalis, yang ditunjukkan dengan gerakan Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jami’ati Islami dan Islamic Salvation Front (FIS).[5] John L. Esposito lebih memilih menggunakan istilah revivalisme Islam atau aktivisme Islam, yang memiliki akar tradisi Islam.[6]  Sementara itu. Muhammad Abid Al-Jabiri menggunakan istilah ekstremisme Islam. Kelompok Islam ekstrem biasanya mengarahkan permusuhan dan perlawanannya kepada gerakan-gerakan Islam “tengah” atau “moderat”. Karena itu, Al-Jabiri menyebutkan bahwa musuh sejati Islam ekstrem adalah Islam moderat. Al-Jabiri menunjukkan perbedaan dari gerakan Islam ekstrem di masa kontemporer ini. Gerakan-gerakan ekstemis masa lalu mempraktikkan ekstremisme pada tatanan akidah, sedangkan gerakan-gerakan ekstrem kontemporer menjalankannya pada tataran syariah dengan melawan mazhab-mazhab moderat.[7]
Untuk lebih memperjelas fenomena radikalisme agama, kerangka yang diberikan sosiolog agama, Martin E. Marty, dengan beberapa modifikasi, agaknya cukup relevan diterapkan untuk melihat gejala “kekerasan atas nama agama”. Menurutnya, ciri yang utama adalah oppositionalism (paham perlawanan), yakni paham perlawanan terhadap ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agamanya, apakah dalam bentuk modernitas atau modernisme, sekularisasi, dan tata nilai Barat pada umumnya.[8]  Sikap melawan atau berjuang (fight) dilakukan, di antaranya dengan melawan kembali (fight back) kelompok yang mengancam keberadaan atau identitas yang menjadi tatanan hidup; berjuang untuk (fight for) menegakkan cita-cita yang meliputi persoalan hidup secara umum, seperti keluarga atau institusi sosial; berjuang dengan (fight with) kerangka nilai atau identitas tertentu yang berasal dari warisan masa lalu maupun kontruksi yang baru; berjuang melawan (fight againt) musuh-musuh tertentu yang muncul dalam bentuk komunitas atau tata sosial keagamaan yang dipandang menyimpang; dan terakhir, mereka melakukannya dalam kerangka perjuangan atas nama (fight under) Tuhan.[9]
Deradikalisasi Pemahaman Keagamaan
Pada dasarnya, setiap agama mengajarkan umatnya untuk berlaku kasih dan sayang terhadap sesamanya. Pesan mendasar dari setiap agama yang ada di muka bumi adalah hidup secara damai dengan seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Tidak ada satupun agama yang mengajarkan pemeluknya untuk bertindak anarkis dan menyebarkan teror. Kalaupun kemudian agama tertentu, misalnya Islam, dituduh sebagai agama yang mengajarkan radikalisme dan terorisme karena adanya ayat-ayat dan hadis tentang perang, maka yang harus dikoreksi atau dikritik bukanlah ayat al-Qur’an atau hadisnya, tetapi pemahaman manusia yang membaca dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis tersebut.
Validitas dan otentisitas al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber hukum sekaligus sebagai landasan etika dan moral tidak pernah diragukan oleh setiap Muslim. Namun demikian, ketika memasuki wilayah penafsiran, faktor subjektivitas dari masing-masing penafsir tentu akan menjiwai pandangannya terhadap sebuah ayat atau hadis. Oleh karena itu, wajar jika kemudian kita menemukan tafsiran yang berbeda dari beberapa kitab tafsir tentang sebuah ayat atau hadis. Faktor sosio-politis juga dapat mempengaruhi pandangan seseorang terhadap kandungan ayat al-Qur’an dan hadis. Syaikh Nawawi al-Bantani, misalnya, dalam kitab tafsirnya yang terkenal, Marah Labid, ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an tak pelak dipengaruhi oleh situasi tanah airnya ketika dijajah oleh Belanda.[10] Ini menunjukkan ketika memasuki wilayah (domain) tafsir, pemahaman seorang mufassir amat dipengaruhi oleh berbagai aspek yang melingkupinya.
Menurut Masdar Hilmy, terdapat sekurangnya tiga cara yang barangkali bisa dipertimbangkan sebagai langkah mengantisipasi kemunculan ideologi radikalisme agama. Pertama adalah penguatan basis teologi Islam moderat dengan membangun argumen yang lebih rinci dan detil tentang bagaimana teologi Islam moderat beroperasi di tingkat praksis. Harus diakui bahwa sistem teologi moderat yang ada sekarang ini kurang memberikan sebuah gambaran tebal (thick description) atas teologi Islam moderat dimaksud. Ini penting karena mayoritas ummat Islam di negeri ini dihuni oleh “masa mengambang” (floating mass) yang mudah sekali diombang-ambingkan oleh angin perubahan. Mereka dicirikan oleh ketidakcanggihan dalam berpikir dan beragama.[11]
Secara keagamaan, mayoritas umat Islam di Indonesia bukanlah mereka yang memiliki kedalaman ilmu-ilmu agama yang memadai. Secara teologis, mayoritas ummat Islam Indonesia sebenarnya moderat. Tetapi jenis moderatisme mereka bukanlah moderatisme yang terdidik, dalam, dan sophisticated secara keilmuan. Moderatisme mereka adalah moderatisme dangkal/banal. Namun sekali mereka bertemu dengan seorang ideolog radikal dengan karakter kuat, mereka dapat saja terpengaruh oleh ideologi yang diajarkannya. Dalam derajat tertentu, “narasi tipis” ideologi yang menawarkan janji-janji surgawi secara cepat merupakan ancaman serius terhadap versi keberagamaan mayoritas ummat Islam Indonesia tersebut. Salah satu cara yang bisa ditempuh guna meng-counter “narasi tipis” ideologi radikalisme Islam adalah dengan memperkuat “narasi tebal” teologi Islam moderat.
Dalam rangka merumuskan sistem teologi Islam moderat, kita harus mempertimbangkan nilai-nilai keberagamaan yang ada sebagai varian penting untuk memperkaya khasanah moderatisme Islam. Muhammadiyah misalnya, telah lama merumuskan apa yang oleh para pengikutnya sebagai “Islam berkemadjoean”. Ini menjadi modalitas budaya di atas mana fondasi teologi Islam moderat bisa didirikan.  NU, dalam cara yang sama, telah mengembangkan teologi moderat melalui rumusan tiga nilai: toleransi (tasamuh), keseimbangan sosial (tawazun), dan moderatisme (I’tidal). Nilai-nilai tersebut, tak diragukan lagi, merupakan raison d’etre eksistensi NU selama ini. Tanpa kehadiran nilai-nilai tersebut, tidak bisa dibayangkan bagaimana bentuk wajah Islam Indonesia dewasa ini.
Cara kedua untuk mengantisipasi ideologi radikalisme agama adalah dengan cara pribumisasi Islam (baca: mengindonesiakan Islam). Kemunculan ideologi radikal di kalangan ummat Muslim tidak bisa dipisahkan dari absennya proses akulturasi budaya di kalangan ummat Muslim. Yang dimaksud dengan pribumisasi Islam adalah bagaimana Islam didekati, diterjemahkan dan diobjektivikasi dalam konteks keindonesiaan kita, baik di tingkat budaya, sosial, atau politik. Ideologi radikalisme mengandaikan totalitas kehidupan bukan saja di tingkat agama tetapi juga kehidupan lain. Karena alasan inilah, bagi kalangan Islamis, totalitas ini seringkali dipahami sebagai Arabisasi dalam versi keberagamaan yang paling puritan. Versi keberagamaan semacam ini sudah tentu akan mendapatkan perlawanan dari mayoritas ummat Muslim yang dihuni oleh kelompok “massa mengambang” tadi.
Memang terdapat sejumlah doktrin keagamaan, terutama dalam konteks ibadah individual-mahdah, yang harus dipahami dan dilaksanakan sebagaimana apa adanya. Sementara itu, pribumisasi Islam mengasumsikan adanya upaya kontekstualisasi teks-teks suci ke dalam setting lokal, yakni Indonesia. Langkah pribumisasi ini tidak selamanya dipahami sebagai pengaburan identitas Islam yang paling utama, yakni akidah. Kita harus yakinkan para Islamis bahwa dengan pribumisasi Islam kita tidak akan kehilangan dimensi utama dari keberagamaan ummat Islam. Lebih jauh dari itu, pribumisasi Islam merupakan satu-satunya cara untuk mengajarkan Islam kepada masyarakat Indonesia tanpa harus tercerabut dari akar sejarah dan budaya.
Cara ketiga untuk menderadikalisasi pemikiran keagamaan adalah dengan memperkaya pembacaan keagamaan secara akademik. Hal ini dapat dilakukan melalui proses pembelajaran yang intensif untuk menjadikan Islam sebagai obyek kajian akademik. Cara ini diyakini akan mampu meminimalisasi kemungkinan ideologisasi dan politisasi Islam. Mayoritas kalangan Islamis terdiri dari mereka yang terdidik dalam lembaga-lembaga pendidikan sekuler, dan bukan dari lembaga pendidikan agama seperti pesantren. Hal ini bisa dipahami karena di pesantren, para santri terbiasa dengan perbedaan wacana keagamaan dan perspektif komparatif dalam melihat isu-isu keagamaan. Akibatnya, pandangan-pandangan keagamaan yang berbeda tidak berkonsekuensi pada munculnya paham keagamaan yang radikal di kalangan santri dan alumninya, karena pemahaman keagamaan mereka telah termoderasi.
Epilog
            Ideologi radikalisme atas nama jihad sering dijadikan legitimasi aksi kekerasan oleh para pengusungnya melalui penafsiran yang distortif. Monopoli penafsiran agama membawa implikasi destruktif pada tataran kehidupan masyarakat, sehingga muncul kesan seakan-akan Islam yang dibajak penafsiranya itu telah menjadi arus utama kehidupan beragama. Padahal, misi suci Islam tidak sama dengan yang diekspresikan oleh para pelaku kekerasan yang selama ini selalu bersandar pada pengertian jihad.
            Oleh karenanya, pada konteks inilah perlu dilakukan upaya deradikalisasi pemahaman keagamaan. Para intelektual Muslim moderat harus berusaha untuk membebaskan makna jihad dari tirani kognitif-epistemologis yang sempit sebagaimana dilakukan oleh kelompok Islam radikal. Jihad diupayakan diletakkan sebagai sebuah pesan agama yang mengandung makna terdalam. Distorsi makna jihad sebagai perjuangan dalam bentuk fisik yang amat partikular, pada urutannya bukan saja terus menodai citra agama (Islam) sebagai pembawa rahmat bagi semesta, melainkan juga terus menghantui umat sebagai kekuatan laten yang destruktif dan traumatik, justru dari dalam psikologis umat sendiri. Persoalan muncul ketika al-Qur’an dan Hadis dipahami dan ditafsirkan secara sempit; yakni memahami secara literal dan skripturalis dengan mengabaikan sejarah, sosial dan politik serta rasionalitas yang melatarbelakangi turunnya ayat (asbâb an-nuzûl) dan munculnya hadis Nabi (asbab al-wurud).
Dengan demikian, upaya deradikalisasi pemahaman keagamaan perlu dilakukan dan diharapkan peran serta umat Islam di seluruh dunia untuk memperkenalkan wajah Islam yang ramah dan toleran adalah sebuah keniscayaan sebagai  orientasi gerakan perubahan yang humanis dan damai. Seluruh umat Muslim berkewajiban memberikan pemahaman Islam yang benar kepada setiap orang, khususnya kepada mereka yang tidak memahami pesan dasar agama Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin. Semoga. Wallahu a’lamu bi al-shawab.[]



[1] Dosen IAIN Mataram dan Ketua LTMNU NTB
[2] Muhammad Syafi’i Anwar, kata pengantar buku: Islamku, Islam Anda, Islam Kita, (Jakarta: Wahid Insitut, 2006)
[3] J.B. Banawiratma, SJ., “Bersama Saudara-Saudari Beriman Lain: Perspektif Gereja Katolik”, dalam Dialog: Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta: Dian Interfidei, 1993), h. 17.
[4]Banyak ilmuwan yang menyamakan istilah radikalisme agama dengan fundamentalisme (ushûliyyûn), “kaum Islamis” (islâmiyyûn), “kaum otentik atau asli” (ashliyyûn), “pengikut para sahabat utama (salafiyyûn), “militant” atau bahkan “neo-fundamentalisme”, karena memiliki kemiripan-kemiripan tertentu yang menyerupai ciri-ciri dalam radikalisme. Lihat Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam,(jakarta: Logos, 1999), h. 109.
[5] Oliver Roy. The Failure of Political Islam (London: I.B. Tauris & Co. Ltd., 1994), h. 2-4.
[6] John L. Esposito, The Islamic Threat Myth or Reality? (Oxford: Oxford University Press, 1992), h. 7-8.
[7] Muhammad Abid Al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syariah, terj.  (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001), h. 139-149.
[8] Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam…., op. cit., h. 109
[9] Bahtiar Effendi dan Hendro Prasetyo, Radikalisme Agama (Jakarta: PPIM-IAIN, 1998), h.  xix.
[10] Mamat S. Burhanuddin, Hermeneutika al-Qur’an ala Pesantren: Analisis terhadap Tafsir Marah Labid karya KH. Nawawi Banten, (Yogyakarta: UII Press, 2006), h. 41
[11] Masdar Hilmy, “Moderatisme Islam Indonesia”, Kompas, 22 Oktober 2011, 6.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer