AGAMA DAN KULTUR
KEKERASAN:
Revitalisasi
Pemahaman Kegamaan yang Rahmah dan Tasamuh
Oleh: Muhammad Harfin Zuhdi, MA[1]
Prolog
Sebagai masyarakat
beragama (religious society), memori kolektif umat sering diguncang dengan beragam peristiwa yang bersifat rasial, fundamentalisme-radikalisme,
collective violence dan terorisme yang dikaitkan dengan agama tertentu. Oleh karenanya, agama menjadi semacam
ancaman yang bisa dengan tiba-tiba datang memberangus kehidupan bersama di muka
bumi ini. Ini yang biasa disebut sebagai fenomena
paradoksal keberagamaan umat, baik pada level elite politik maupun massa bawah
(grass root). Suasana paradoks ini sering terjadi, di satu sisi agama
mengajarkan nilai-nilai kebajikan yang luhur dan anti-kekerasan kepada umatnya,
namun pada wajah lain, agama (umat
beragama) tidak bersahabat, dan ini sering dialamatkan kepada kelompok keagamaan yang dicap radikal-terorisme.
Munculnya fundamentalisme, radikalisme dan terorisme dilatarbelakangi oleh
berbagai faktor yang sangat kompleks dan pelik. Salah satunya adalah
pada aspek pemahaman terhadap ajaran fundamen Islam yang bersifat
literal-skriptural, rigid dan cenderung mengarah pada klaim kebenaran. Ciri utama ini berkaitan dengan pemahaman
dan interpretasi mereka terhadap doktrin jihad misalnya, yang cenderung bersifat rigit dan literalis. Kecenderungan seperti itu,
menurut mereka sangat perlu demi menjaga kemurnian doktrin Islam secara utuh (kaffah). Menurut kaum Islam
radikal, doktrin-doktrin yang terdapat di dalam al-Qur’an dan Sunnah adalah
doktrin yang bersifat universal dan telah mencakup segala aspek dalam kehidupan
manusia dan berlaku tanpa dibatasi
oleh ruang dan waktu.
Geneologi
Radikalisme-Terorisme
Radikalisme agama sering disebut dengan al-tatharuf
al-diny yang mengandung arti berdiri di ujung, atau jauh dari pertengahan,
atau dapat juga diartikan berlebihan dalam berbuat sesuatu. Pada awalnya kata al-tatharuf
diartikan untuk hal hal yang bersifat konkrit kemudian dalam perkembangan
bahasa, makna ini juga bermakna hal-hal yang bersifat abstrak, seperti berlebihan dalam berfikir dan beragama.
Dengan demikian al-tatharuf al-diny adalah segala perbuatan yang
berlebihan dalam beragama.
Gejala radikalisme di dunia Islam bukan fenomena yang
datang tiba-tiba. Ia lahir dalam situasi politik, ekonomi, dan sosial budaya
yang oleh pendukung gerakan Islam radikal dianggap sangat memojokkan umat
Islam. Secara politik umat Islam bukan saja tidak diuntungkan oleh sistem,
tetapi juga merasa diperlakukan tidak adil. Mereka merasa aspirasi mereka tidak
terakomodasi dengan baik karena sistem politik yang dikembangkan adalah sistem
kafir yang dengan sendirinya lebih memihak kalangan nasionalis sekuler
ketimbang umat Islam itu sendiri.
Menurut Gus Dur, sebagaimana dikatakan Syafi’i Anwar[2] bahwa lahirnya kelompok-kelompok Islam garis keras atau radikal tersebut
tidak bisa dipisahkan dari dua sebab. Pertama, para penganut Islam garis
keras tersebut mengalami semacam kekecewaan dan alienasi karena
”ketertinggalan” umat Islam dari kemajuan peradaban Barat dan penetrasi
budayanya dengan segala eksesnya. Karena ketidakmampuan mereka untuk
mengimbangi dampak materialistik budaya Barat, akhirnya mereka menggunakan kekerasan untuk
menghalangi ofensif matrealistik dan penetrasi Barat.
Kedua, kemunculan
kelompok-kelompok Islam garis keras itu tidak terlepas dari karena adanya
pendangkalan agama dari kalangan ummat Islam sendiri, khususnya angkatan
mudanya. Pendangkalan itu terjadi karena mereka yang terpengaruh atau terlibat
dalam gerakan-gerakan Islam radikal atau garis keras umumnya terdiri dari
mereka yang berlatar belakang pendidikan ilmu-ilmu ekstakta dan ekonomi. Latar
belakang seperti itu menyebabkan fikiran mereka penuh dengan hitungan-hitungan
matematik dan ekonomis yang rasional dan tidak ada waktu untuk mengkaji Islam
secara mendalam. Mereka mencukupkan diri dengan interpretasi keagamaan yang
didasarkan pada pemahaman secara literal atau tekstual. Bacaan atau hafalan
mereka terhadap ayat-ayat suci Al-Qur’an dan Hadits dalam jumlah besar memang
mengagumkan. Tetapi pemahaman mereka terhadap substansi ajaran Islam lemah,
karena tanpa mempelajari pelbagai penafsiran yang ada, kaidah-kaidah ushul fiqh, maupun variasi pemahaman terhadap
teks-teks yang ada.
Secara filosofis, fenomena radikalisme dan pluralisme agama
merupakan persoalan yang berhubungan dengan pengalaman inti (core experience),
memori kolektif (collective memory) dan penafsiran (interpretation)
agama.[3] Dalam konteks keagamaan, nampaknya
istilah radikalisme hingga kini belum ada kesepakatan mengenai istilah yang
tepat untuk menggambarkan gerakan radikal.[4] Oliver Roy dalam bukunya The Failure
of Political Islam (1994) menyebut gerakan Islam yang berorientasi pada
pemberlakuan syariat Islam sebagai Islam Fundamentalis, yang ditunjukkan dengan
gerakan Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jami’ati Islami dan Islamic Salvation
Front (FIS).[5] John L. Esposito lebih memilih
menggunakan istilah revivalisme Islam atau aktivisme Islam, yang memiliki akar
tradisi Islam.[6]
Sementara itu. Muhammad Abid Al-Jabiri menggunakan istilah ekstremisme
Islam. Kelompok Islam ekstrem biasanya mengarahkan permusuhan dan perlawanannya
kepada gerakan-gerakan Islam “tengah” atau “moderat”. Karena itu, Al-Jabiri
menyebutkan bahwa musuh sejati Islam ekstrem adalah Islam moderat. Al-Jabiri
menunjukkan perbedaan dari gerakan Islam ekstrem di masa kontemporer ini.
Gerakan-gerakan ekstemis masa lalu mempraktikkan ekstremisme pada tatanan
akidah, sedangkan gerakan-gerakan ekstrem kontemporer menjalankannya pada tataran
syariah dengan melawan mazhab-mazhab moderat.[7]
Untuk lebih memperjelas fenomena
radikalisme agama, kerangka yang diberikan sosiolog agama, Martin E. Marty,
dengan beberapa modifikasi, agaknya cukup relevan diterapkan untuk melihat
gejala “kekerasan atas nama agama”. Menurutnya, ciri yang utama adalah oppositionalism
(paham perlawanan), yakni paham perlawanan terhadap ancaman yang dipandang
membahayakan eksistensi agamanya, apakah dalam bentuk modernitas atau
modernisme, sekularisasi, dan tata nilai Barat pada umumnya.[8]
Sikap melawan atau berjuang (fight) dilakukan, di antaranya
dengan melawan kembali (fight back) kelompok yang mengancam keberadaan
atau identitas yang menjadi tatanan hidup; berjuang untuk (fight for)
menegakkan cita-cita yang meliputi persoalan hidup secara umum, seperti
keluarga atau institusi sosial; berjuang dengan (fight with) kerangka
nilai atau identitas tertentu yang berasal dari warisan masa lalu maupun
kontruksi yang baru; berjuang melawan (fight againt) musuh-musuh
tertentu yang muncul dalam bentuk komunitas atau tata sosial keagamaan yang
dipandang menyimpang; dan terakhir, mereka melakukannya dalam kerangka
perjuangan atas nama (fight under) Tuhan.[9]
Deradikalisasi Pemahaman Keagamaan
Pada
dasarnya, setiap agama mengajarkan umatnya untuk berlaku kasih dan sayang
terhadap sesamanya. Pesan mendasar dari setiap agama yang ada di muka bumi
adalah hidup secara damai dengan seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Tidak ada
satupun agama yang mengajarkan pemeluknya untuk bertindak anarkis dan
menyebarkan teror. Kalaupun kemudian agama tertentu, misalnya Islam, dituduh
sebagai agama yang mengajarkan radikalisme dan terorisme karena adanya
ayat-ayat dan hadis tentang perang, maka yang harus dikoreksi atau dikritik
bukanlah ayat al-Qur’an atau hadisnya, tetapi pemahaman manusia yang membaca
dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis tersebut.
Validitas dan
otentisitas al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber hukum sekaligus sebagai landasan
etika dan moral tidak pernah diragukan oleh setiap Muslim. Namun demikian,
ketika memasuki wilayah penafsiran, faktor subjektivitas dari masing-masing
penafsir tentu akan menjiwai pandangannya terhadap sebuah ayat atau hadis. Oleh
karena itu, wajar jika kemudian kita menemukan tafsiran yang berbeda dari
beberapa kitab tafsir tentang sebuah ayat atau hadis. Faktor sosio-politis juga
dapat mempengaruhi pandangan seseorang terhadap kandungan ayat al-Qur’an dan
hadis. Syaikh Nawawi al-Bantani, misalnya, dalam kitab tafsirnya yang terkenal,
Marah Labid, ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an tak pelak
dipengaruhi oleh situasi tanah airnya ketika dijajah oleh Belanda.[10] Ini menunjukkan
ketika memasuki wilayah (domain) tafsir, pemahaman seorang mufassir amat
dipengaruhi oleh berbagai aspek yang melingkupinya.
Menurut Masdar Hilmy, terdapat sekurangnya tiga cara yang barangkali bisa
dipertimbangkan sebagai langkah mengantisipasi kemunculan ideologi radikalisme
agama. Pertama adalah penguatan basis teologi Islam moderat dengan membangun argumen
yang lebih rinci dan detil tentang bagaimana teologi Islam moderat beroperasi
di tingkat praksis. Harus diakui bahwa sistem teologi moderat yang ada sekarang
ini kurang memberikan sebuah gambaran tebal (thick description) atas
teologi Islam moderat dimaksud. Ini penting karena mayoritas ummat Islam di
negeri ini dihuni oleh “masa mengambang” (floating mass) yang mudah
sekali diombang-ambingkan oleh angin perubahan. Mereka dicirikan oleh
ketidakcanggihan dalam berpikir dan beragama.[11]
Secara keagamaan, mayoritas umat Islam di Indonesia bukanlah mereka yang
memiliki kedalaman ilmu-ilmu agama yang memadai. Secara teologis, mayoritas
ummat Islam Indonesia sebenarnya moderat. Tetapi jenis moderatisme mereka
bukanlah moderatisme yang terdidik, dalam, dan sophisticated secara
keilmuan. Moderatisme mereka adalah moderatisme dangkal/banal. Namun sekali
mereka bertemu dengan seorang ideolog radikal dengan karakter kuat, mereka
dapat saja terpengaruh oleh ideologi yang diajarkannya. Dalam derajat tertentu,
“narasi tipis” ideologi yang menawarkan janji-janji surgawi secara cepat
merupakan ancaman serius terhadap versi keberagamaan mayoritas ummat Islam
Indonesia tersebut. Salah satu cara yang bisa ditempuh guna meng-counter
“narasi tipis” ideologi radikalisme Islam adalah dengan memperkuat “narasi
tebal” teologi Islam moderat.
Dalam rangka merumuskan sistem teologi Islam moderat, kita harus
mempertimbangkan nilai-nilai keberagamaan yang ada sebagai varian penting untuk
memperkaya khasanah moderatisme Islam. Muhammadiyah misalnya, telah lama
merumuskan apa yang oleh para pengikutnya sebagai “Islam berkemadjoean”. Ini
menjadi modalitas budaya di atas mana fondasi teologi Islam moderat bisa
didirikan. NU, dalam cara yang sama, telah
mengembangkan teologi moderat melalui rumusan tiga nilai: toleransi (tasamuh),
keseimbangan sosial (tawazun), dan moderatisme (I’tidal).
Nilai-nilai tersebut, tak diragukan lagi, merupakan raison d’etre
eksistensi NU selama ini. Tanpa kehadiran nilai-nilai tersebut, tidak bisa
dibayangkan bagaimana bentuk wajah Islam Indonesia dewasa ini.
Cara kedua untuk mengantisipasi ideologi radikalisme agama adalah dengan
cara pribumisasi Islam (baca: mengindonesiakan Islam). Kemunculan ideologi
radikal di kalangan ummat Muslim tidak bisa dipisahkan dari absennya proses
akulturasi budaya di kalangan ummat Muslim. Yang dimaksud dengan pribumisasi
Islam adalah bagaimana Islam didekati, diterjemahkan dan diobjektivikasi dalam
konteks keindonesiaan kita, baik di tingkat budaya, sosial, atau politik.
Ideologi radikalisme mengandaikan totalitas kehidupan bukan saja di tingkat
agama tetapi juga kehidupan lain. Karena alasan inilah, bagi kalangan Islamis,
totalitas ini seringkali dipahami sebagai Arabisasi dalam versi keberagamaan
yang paling puritan. Versi keberagamaan semacam ini sudah tentu akan
mendapatkan perlawanan dari mayoritas ummat Muslim yang dihuni oleh kelompok
“massa mengambang” tadi.
Memang terdapat sejumlah doktrin keagamaan, terutama dalam konteks ibadah
individual-mahdah, yang harus dipahami dan dilaksanakan sebagaimana apa adanya.
Sementara itu, pribumisasi Islam mengasumsikan adanya upaya kontekstualisasi
teks-teks suci ke dalam setting lokal, yakni Indonesia. Langkah
pribumisasi ini tidak selamanya dipahami sebagai pengaburan identitas Islam
yang paling utama, yakni akidah. Kita harus yakinkan para Islamis bahwa dengan
pribumisasi Islam kita tidak akan kehilangan dimensi utama dari keberagamaan
ummat Islam. Lebih jauh dari itu, pribumisasi Islam merupakan satu-satunya cara
untuk mengajarkan Islam kepada masyarakat Indonesia tanpa harus tercerabut dari
akar sejarah dan budaya.
Cara ketiga untuk menderadikalisasi pemikiran keagamaan adalah dengan
memperkaya pembacaan keagamaan secara akademik. Hal ini dapat dilakukan melalui
proses pembelajaran yang intensif untuk menjadikan Islam sebagai obyek kajian
akademik. Cara ini diyakini akan mampu meminimalisasi kemungkinan ideologisasi
dan politisasi Islam. Mayoritas kalangan Islamis terdiri dari mereka yang
terdidik dalam lembaga-lembaga pendidikan sekuler, dan bukan dari lembaga
pendidikan agama seperti pesantren. Hal ini bisa dipahami karena di pesantren,
para santri terbiasa dengan perbedaan wacana keagamaan dan perspektif
komparatif dalam melihat isu-isu keagamaan. Akibatnya, pandangan-pandangan
keagamaan yang berbeda tidak berkonsekuensi pada munculnya paham keagamaan yang
radikal di kalangan santri dan alumninya, karena pemahaman keagamaan mereka
telah termoderasi.
Epilog
Ideologi radikalisme atas nama jihad sering dijadikan legitimasi
aksi kekerasan oleh para pengusungnya melalui penafsiran yang distortif.
Monopoli penafsiran agama membawa implikasi destruktif pada tataran kehidupan
masyarakat, sehingga muncul kesan seakan-akan Islam yang dibajak penafsiranya
itu telah menjadi arus utama kehidupan beragama. Padahal, misi suci Islam tidak
sama dengan yang diekspresikan oleh para pelaku kekerasan yang selama ini
selalu bersandar pada pengertian jihad.
Oleh karenanya, pada konteks inilah perlu dilakukan upaya
deradikalisasi pemahaman keagamaan. Para intelektual Muslim moderat harus berusaha untuk membebaskan makna jihad dari tirani kognitif-epistemologis
yang sempit sebagaimana dilakukan oleh kelompok Islam radikal. Jihad diupayakan
diletakkan sebagai sebuah pesan agama yang mengandung makna terdalam. Distorsi
makna jihad sebagai perjuangan dalam bentuk fisik yang amat partikular, pada
urutannya bukan saja terus menodai citra agama (Islam) sebagai pembawa rahmat
bagi semesta, melainkan juga terus menghantui umat sebagai kekuatan laten yang
destruktif dan traumatik, justru dari dalam psikologis umat sendiri. Persoalan muncul ketika al-Qur’an dan Hadis dipahami dan ditafsirkan secara
sempit; yakni memahami secara literal dan skripturalis dengan mengabaikan
sejarah, sosial dan politik serta rasionalitas yang melatarbelakangi
turunnya ayat (asbâb an-nuzûl) dan munculnya hadis Nabi (asbab
al-wurud).
Dengan
demikian, upaya deradikalisasi pemahaman keagamaan perlu dilakukan dan
diharapkan peran serta umat Islam di seluruh dunia untuk memperkenalkan wajah
Islam yang ramah dan toleran adalah sebuah keniscayaan sebagai orientasi gerakan perubahan yang humanis dan damai.
Seluruh umat Muslim berkewajiban memberikan pemahaman Islam yang benar kepada
setiap orang, khususnya kepada mereka yang tidak memahami pesan dasar agama
Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin. Semoga. Wallahu a’lamu bi
al-shawab.[]
[1] Dosen IAIN Mataram dan Ketua LTMNU NTB
[2] Muhammad
Syafi’i Anwar, kata pengantar buku: Islamku, Islam Anda, Islam Kita,
(Jakarta: Wahid Insitut, 2006)
[3] J.B. Banawiratma, SJ.,
“Bersama Saudara-Saudari Beriman Lain: Perspektif Gereja Katolik”, dalam Dialog:
Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta: Dian Interfidei, 1993), h. 17.
[4]Banyak ilmuwan yang menyamakan istilah radikalisme agama
dengan fundamentalisme (ushûliyyûn), “kaum Islamis” (islâmiyyûn),
“kaum otentik atau asli” (ashliyyûn), “pengikut para sahabat utama (salafiyyûn),
“militant” atau bahkan “neo-fundamentalisme”, karena memiliki
kemiripan-kemiripan tertentu yang menyerupai ciri-ciri dalam radikalisme. Lihat
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam,(jakarta: Logos, 1999), h. 109.
[6] John L. Esposito, The
Islamic Threat Myth or Reality? (Oxford: Oxford University Press, 1992), h.
7-8.
[7] Muhammad Abid
Al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syariah, terj. (Yogyakarta:
Fajar Pustaka, 2001), h. 139-149.
[10] Mamat S. Burhanuddin, Hermeneutika
al-Qur’an ala Pesantren: Analisis terhadap Tafsir Marah Labid karya KH. Nawawi
Banten, (Yogyakarta: UII Press, 2006), h. 41
Tidak ada komentar:
Posting Komentar