ISTIQOMAH
DAN KONSEP DIRI SEORANG MUSLIM
DALAM INTERAKSI MUAMALAH SOSIAL
Oleh:
Muhammad Harfin Zuhdi, MA[1]
Abstract
Moslem with high belief in Allah and high
“istiqamah” will have a consistency in his attitude. It means that he will
conduct accord with the law, consistent with his ideals and never leave his
principal although he should face many risks and challenges.
Consistent Moslem will be able to control his
self and effectively manage his emotion. He is still consistent with his
commitment, and also has positive thinking, and never return to the back
although in stressful situation. This style of attitude eventually can create
strong self-confidence, integrity and skill to manage the stress.
Thus,
self image of a Moslem is a representing of Moslem about his self. It means how
far does he evaluates quality of his self as a Moslem, his faith in Allah and
his best doing based on Islamic
teachings. This evaluation of course is hardly to be conducted because it has
high subjective bias, but it is one of principal Islamic teachings because
every Moslem should evaluate his self before he will be evaluated in front of
Allah.
Kata
kunci: Iman, Istiqomah, Konsep Diri, kepribadian
Muslim
Pendahuluan
Sebagai agama samawi, Islam memadukan antara dimensi esoterik (‘aqidah) di satu sisi, dan dimensi eksoterik (syari’ah) di sisi yang lain. Dimensi eksoterik ajaran Islam memuat ajaran paling fundamental yang menyangkut sistem keimanan dan kepercayaan terhadap Allah SWT, sebagai pencipta alam semesta. Oleh karena itu, pemaknaan atas iman secara benar dan istiqomah dimaksud untuk menstimulasi rasa spiritualisme keagamaan paling asasi dalam wujud penghambaan dan pengabdian secara total kepada Allah SWT.
Pada tataran praksisnya, Islam mempunyai titik
keseimbangan antara esoterisme-akidah dan eksoterisme-syari’at.[2]
Bila yang pertama beraksentuasi pada dimensi kepercayaan-imani, maka yang kedua
memiliki konsentrasi pada dimensi operasional-amaliah.
Term ‘aqidah mengandung arti keyakinan
atau kepercayaan. Dengan demikian akidah Islam berarti perangkat keimanan dan
keyakinan akan adanya Allah SWT, Pencipta jagat raya dengan kekuasaan mutlak
yang dimiliki-Nya. Tauhid adalah keyakinan yang mengesakan Allah yang
diformalisasikan dalam kalimat: La ilaha Illa Allah, tiada Tuhan selain
Allah. Dengan demikian, iman-tauhid adalah percaya kepada Allah dan
mengesakan-Nya. Inilah aspek lahir dari akidah. Selanjutnya, untuk memperoleh
kedalaman akidah tidak cukup hanya dengan percaya kepada Allah dan
mengesakan-Nya. Namun harus mampu menangkap makna yang substantif. Kedalaman
iman harus terefleksi dalam bentuk amal shalih yang memiliki resonansi sosial.
Pengertian inilah yang dimaksud sabda Nabi: “Iman itu bukanlah harapan dan
bukan pula perhiasan, akan tetapi yang tertanam dalam hati dan dibuktikan oleh
perbuatan” (H.R. Ibnu Najjar dan Dailami).
Sedangkan syari’at secara terminologi adalah
garis-garis operasional ajaran agama; baik menyangkut hubungan manusia dengan
Allah, hubungan sesama manusia, maupun hubungan dengan alam dan lingkungannya.
Jika mengacu pada definisi ini, maka akan terlihat bahwa aqidah dan syari’at adalah dua elemen dasar yang mempunyai hubungan
komplementer, saling melengkapi satu sama lain dalam kehidupan beragama. Bila aqidah diproyeksikan sebagai totalitas
keyakinan seorang Muslim terhadap ajaran Islam, maka syari’at lebih
diproyeksikan sebagai aktualisasi ajaran Islam pada tataran implementasinya.
Sejatinya, Islam adalah relasi komplementer antara aqidah dan syari’at.[3]
Aktualisasi keberagamaan akan terbentuk dalam
diri seorang Muslim apabila ia memiliki kesadaran keagamaan (religious
counsciousness) dan pengalaman keagamaan (religious experience).
Kesadaran keagamaan akan hadir dalam hati dan pikiran atau aspek mental pelaku
aktivitas agama. Pengalaman keagamaan merupakan kesadaran keagamaan dalam
menumbuhkan keyakinan yang menghasilkan tindakan amaliah.[4]
Kesadaran dan pengalaman keagamaan seorang
muslim dibentuk oleh pengetahuan akan norma-norma agama yang dimiliki dan
diyakininya, diperkaya dengan latihan dan tidakan.[5]
Singkatnya, pemahaman terhadap norma-norma ajaran Islam dan keyakinan terhadap kebenaran
nilai-nilainya yang akan membentuk kesadaran seorang muslim yang
termanifestasikan dalam sikap mental positif
dan perilaku yang baik dalam membina hubungan dengan Allah, sesama
manusia dan alam.
Berkaitan
dengan konteks iman dan istiqomah yang menjadi esensi pilar Islam, Rasulullah
saw menjelaskan:
عَنْ
هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ
الثَّقَفِيِّ قَال قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِي فِي
الْإِسْلَامِ قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا غَيْرَكَ قَالَ قُلْ آمَنْتُ
بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ )رواه مسلم)
“Dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya ,dari Sufyan bin
Abdullah al-tsaqafi r.a berkata: “aku berkata: “Wahai Rasulullah! Katakanlah
satu perkataan padaku tentang islam yang aku tidak perlu menanyakannya kepada
orang lain. “Sabda Rasulullah SAW: “Ucapkanlah aku beriman dengan Allah
kemudian beristiqomahlah kamu.”(H.R. Muslim)[6]
Hadis ini secara
redaksional merupakan salah satu bentuk keindahan jawami’ al-kalam (ungkapan
yang ringkas namun memiliki makna yang mendalam) yang menjadi keistimewaan
sabda Rasulullah saw. Sekalipun susunan katanya singkat, namun ia mengumpulkan
pokok-pokok Islam di dalam dua perkataan, yaitu iman dan istiqomah. Rasulullah
menyuruh Abu ‘Amrah (baca: kaum Muslim) agar tetap beriman dan kemudian
menyuruh beristiqomah, yakni konsisten dengan aturan-aturan yang Allah SWT
telah tetapkan, sehingga dengan aturan tersebut seorang muslim tetap berada di
jalan takwa. Artinya,
predikat muttaqiin berarti telah melakukan istiqomah.
Islam mengandung dua perkara penting untuk
kesempurnaannya, yaitu: pertama,
Tauhid dan kedua, Taat. Tauhid difahami dari sabda Rasulullah امنت بالله. Taat dari perkataan استقم . kedua aspek ini adalah
unsur-unsur yang tidak mungkin dipisahkan
satu dengan lainnya. Keduanya harus menyatu dalam satu tujuan dan satu
bentuk amalan. Ini berarti bahwa amalan dan ketaatan yang merupakan hasil dari
istiqomah harus disesuaikan dengan keimanan dan keyakinan.
Hadist tersebut juga menegaskan bahwa Islam
adalah agama yang mudah sekali untuk diamalkan. Kemudahannya terdapat pada asas
pengajarannya yang berdasarkan kitab Allah dan hadist Rasul-Nya sebagai pokok
kajian sebagai sumber ajaran dalam Islam.[7]
Maka dapat dikatakan bahwa diantara hakikat
iman yang menjadi asas amal seorang muslim adalah mengakui Allah sebagai Pencipta
alam semesta dan mengakui bahwa Ia yang menetapkan hukum-hukumnya melalui
Rasul-Nya. Hakikat ini mudah dipahami oleh siapapun juga. Tetapi yang menjadi
kesulitan adalah beramal secara jujur diatas satu sikap yang teguh, konsisten
dalam mengerjakannya atau beristiqomah dalam membuktikan amal yang dijiwainya
atas dasar keimanan.
Makna
Istiqomah
Istiqomah berasal
dari kata qawama yang berarti
berdiri tegak lurus. Kata istiqomah selalu dipahami sebagai sikap teguh dalam
pendirian, konsekuen, tidak condong atau menyeleweng ke kiri atau ke kanan dan
tetap berjalan pada garis lurus yang telah diyakini kebenarannya.[8]
Karena itu, istiqomah sering diartikan dengan teguh hati, taat asas atau konsisten.
Istiqomah adalah tegak dihadapan Allah atau tetap pada jalan yang lurus dengan
tetap menjalankan kebenaran dan menunaikan janji baik yang berkaitan dengan
ucapan, perbuatan, sikap dan niat. Dengan kata lain, istiqomah adalah menempuh
jalan shiratal mustaqim dengan tidak
menyimpang dari ajaran Allah SWT.
Berdiri tegak lurus
merupakan simbol
bahwa yang bersangkutan memiliki sikap disiplin, serius dan tidak main-main.
Oleh karenanya, perintah shalat dalam Al-Qur’an menggunakan kata aqiimuu yang berasal dari kata qoma, karena shalat yang benar adalah shalat yang dilakukan dengan disiplin dan serius
secara terus-menerus.
Dari pengertian tersebut, indikator ke-istiqomahan seseorang terutama akan
terlihat ketika menghadapi perubahan dan godaan dalam menjalani suatu
perbuatan. Dengan demikian, dapat diilustrasikan bahwa istiqomah ibarat
laboratorium ‘uji nyali’, apakah seseorang akan goyah dan tergoda oleh rayuan
atau teguh hati dan konsisten dalam memegang prinsip.
Istiqomah adalah konsistensi, ketabahan,
kemenangan, keperwiraan dan kejayaan di medan pertarungan antara ketaatan, hawa
nafsu dan keinginan. Oleh karena itu mereka yang beristiqomah layak untuk
mendapat penghormatan berupa penurunan malaikat kepada mereka dalam kehidupan
di dunia untuk membuang perasaan takut dan sedih dan memberi kabar gembira
kepada mereka dengan kenikmatan surga.
Firman Allah SWT:
إِنَّ
الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ
الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ
الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ
“Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka
meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan
mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih;
dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah
kepadamu". (Q.S. Al-Fussilat:30)
Makna Konsep Diri
Konsep diri adalah pandangan dan perasaan seseorang
terhadap diri sendiri. Konsep diri bisa bersifat fisik, psikis dan sosial.[9]
Dengan demikian, konsep diri sebagai
struktur mental, suatu totalitas pikiran dan perasaan dalam hubungannya dengan
diri sendiri. Konsep diri tersebut merupakan bentuk konseptual yang tetap,
teratur dan koheren yang terbentuk oleh persepsi-persepsi tentang kekhasan dari
“aku” dan persepsi-persepsi tentang hubungan aku dengan yang lain, dengan
beberapa aspek dalam hidup bersama dengan penilaian atas persepsi-persepsi tersebut.
Lebih jauh, dapat dikemukakan bahwa self atau diri merupakan bagian yang
terpisah dari medan phenomenal dan berisi pola pengamatan dan penilaian yang
sadar dari pengalaman subjek. Diri terbentuk dari hasil interaksi antara
organisme dengan medan phenomenal baik orang tersebut sebagai subjek maupun
sebagai objek. Sebagian dari nilai-nilai yang menyertai pengalaman dan yang
menjadi bagian dari struktur diri merupakan nilai yang dialami langsung oleh
organisme, dan sebagian lagi diperoleh melalui introyeksi dari nilai orang
lain.
Sejalan dengan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa konsep diri adalah
persepsi seseorang terhadap dirinya sendiri, baik secara fisik, psikis, sosial,
maupun moral. Konsep diri merupakan kesan individu terhadap diri secara
keseluruhan, mencakup pendapatnya tentang diri sendiri, pendapat tentang
gambaran diri di mata orang lain, dan pendapat tentang hal-hal yang dapat
dicapai
Dengan demikian, konsep diri bukan sekedar
sekumpulan persepsi atau gambaran seseorang terhadap dirinya, tetapi juga
penilaian terhadap diri sendiri. Hal ini menegaskan bahwa konsep diri bersifat evaluatif. Individu tidak
hanya mendeskripsikan gambaran tentang dirinya tetapi juga mengevaluasi dirinya
dalam berbagai macam situasi. Penilaian ini berdasarkan pada standar ideal yang
ingin dicapai, norma teman sebaya, dan standar yang diinginkan oleh orang-orang
penting dalam kehidupan individu.
Berdasarkan pengertian tersebut, terlihat bahwa konsep
diri memiliki tiga dimensi pokok, yaitu :
1.
Dimensi pengetahuan, yaitu segala pengetahuan atau
informasi yang kita ketahui tentang diri, seperti umur, jenis kelamin,
penampilan, dan sebagainya,
2.
Dimensi harapan, yaitu suatu pandangan tentang
kemungkinan menjadi apa kita di masa mendatang, dan
3.
Dimensi penilaian, yaitu penilaian individu tentang
gambaran siapakah dirinya dan gamabaran mengenai seharusnya bisa menjadi
seperti apa.
Terdapat pembedaan antara persepsi diri real, diri
ideal yang diharapkan, dan diri orang lain sehingga bisa saling diperbandingkan
nilainya, dengan demikian, menurut Carl Rogers, diri ideal adalah persepsi individu tentang dirinya
sebagaimana yang diinginkan individu. Sedangkan diri real adalah persepsi
individu tentang dirinya atau persepsi diri sebagaimana dialami individu
tersebut. Jika ada perbedaan yang sangat mendasar antara diri senyatanya dengan
diri yang diinginkan maka individu akan mengalami ketidakbahagiaan, gangguan
kepribadian, dan penyesuaian sosial yang kurang baik.
Pembedaan antara gambaran diri ideal dan gambaran diri
real juga diungkapkan oleh Elizabeth Hurlock. Ideal self-image didefinisikan sebagai
sebuah gambaran diri yang diinginkan oleh individu, baik secara fisik maupun
psikologis. Gambaran ini merupakan standar harapan dan aspirasi yang sudah
terinternalisasikan dalam diri individu. Real self-image adalah cermin
diri dari apa yang dipercaya individu bagaimana orang-orang penting dalam
hidupnya, seperti orang tua, saudara, guru, dan teman-teman sebaya, melihat
diri individu baik secara fisik maupun psikologis.
Singkatnya, bisa dikatakan bahwa secara umum konsep diri
merupakan sebuah struktur mental, suatu totalitas dari persepsi, yang merupakan
dasar bagi pengetahuan terhadap diri, pengharapan, yang menunjukkan gagasan
tentang kemungkinan menjadi apa kelak, dan penilaian, yang merupakan pengukuran
individu tentang keadaannya dibandingkan dengan apa yang menurut individu dapat
dan seharusnya terjadi. Sedangkan secara khusus, bisa disimpulkan bahwa konsep
diri bisa dibedakan menjadi konsep diri real dan konsep diri ideal. Konsep diri
real adalah persepsi individu tentang dirinya sebagaimana yang dialami dalam
kehidupan sehari-hari. Konsep diri ideal adalah persepsi individu tentang
dirinya sebagaimana individu tersebut menginginkannya. Bisa jadi apa yang
menjadi ideal self concept dengan real self concept tidak jauh
berbeda atau sebaliknya, perbedaan antara konsep diri real dengan konsep diri
ideal inilah yang disebut dengan kesenjangan dalam konsep diri.
Relasi Istiqomah dan
Konsep Diri
Berdasarkan hadist tersebut, kata istoqomah yang berarti
berpegang teguh kepada Allah, bila ditinjau dari aspek psikologi dapat
dikaitkan dengan term kosep diri (self concept). Di mana kosep diri itu sendiri erat kaitannya
dengan bagaimana sesorang berperilaku agar dapat sesuai dengan konsep yang
telah disusun dan konsepkan di dalam
diri seseorang.
Berdasarkan makna konsep diri itu sendiri dalam
perspektif psikologi umum diartikan “semua persepsi kita terhadap aspek diri
yang meliputi aspek fisik, aspek sosial, dan aspek psikologis, yang didasarkan
pada pengalaman dan interaksi kita dengan orang lain. Siapakah
saya? Apakah saya? Jawaban yang saya berikan terhadap kedua pertanyaan ini
mengandung konsep diri saya sendiri, yang terdiri atas:
- Citra diri (self image). Bagian ini merupakan deskripsi sederhana misalnya saya seorang mahaiswa, saya seorang dosen, tinggi badan saya 170 cm, berat badan saya 73 kg, dan sebagainya.
- Penghargaan diri (self esteem). Bagian ini meliputi suatu penilain, suatu perkiraan, mengenai kepantasan diri (self worth); misalnya saya peramah, saya sangat pandai, dan sebagainya.[10]
Selanjutnya, berkaitan dengan hadis di atas,
dapat dijelaskan bahwa sikap istiqomah tersebut akan berimplikasi kepada
bagaimana seorang muslim secara terus menerus dan konsisten berpegang teguh
dalam beriman kepada Allah. Istiqomah itu sendiri dapat memberikan efek positif
yang sangat besar bagi kehidupan seorang muslim dalam membentuk citra
dirinya.
Citra diri (self image) atau konsep diri
(self concept) adalah gambaran seseorang mengenai dirinya sendiri.
Walaupun citra diri mempunyai subjektivitas yang tinggi, tetapi hal itu
merupakan salah satu unsur penting dalam proses pengembangan pribadi. Citra
diri yang positif akan mewarnai pola sikap, cara pikir, corak penghayatan, dan
ragam perbuatan yang positif juga, demikian pula sebaliknya. Seseorang yang memandang
dirinya cerdas misalnya, akan bersikap berfikir, merasakan dan melakukan
tindakan-tindakan yang dianggapnya cerdas (sekalipun orang-orang lain mungkin
menganggapnya berlagak pintar).
Harry Stack Sullivan, seorang psikiater dan Carl Roger, seorang psikolog adalah dua pakar yang mempunyai
pandangan yang berlainan mengenai ragam dan proses terbentuknya citra diri.
Sullivan menyatakan adanya dua ragam citra diri, yaitu citra diri yang positif
dan citra diri yang negatif. Citra diri yang positif terbentuk karena seseorang
secara terus-menerus sejak lama menerima umpan balik berupa pujian dan
penghargaan, sedangkana citra diri yang negatif dikaitkan dengan umpan ballik
yang negatif, seperti ejekan dan perendahan. Kedua umpan balik itu selalu
diterima dari orang-orang sekitarnya, terutama dari mereka yang besar
pengaruhnya bagi diri si penerima umpan balik yang pada akhirnya akan
menumbuhkan penghayatan dan citra diri sebagai orang baik atau buruk yang
disebut Sullivan sebagai the good-me dan the bad-me.[11]
Carl Roger, sebagaimana dikemukakan
Sobur, berpandangan lain. Ia tak menyangkal besarnya
pengaruh pengalaman dan penilaian lingkungan atas terbentuknya citra diri,
tetapi prosesnya sama sekali tidak pasif. Menurut Roger manusia secara sadar
maupun tidak sadar akan terus-menerus menyaring dan memilih hal-hal mana yang
dianggapnya penting dan bermakna untuk diinternalisasikan dan hal-hal mana yang
diabaikan karena dianggap tidak bermakna baginya. Di samping itu, manusia
dengan imajinasinya dapat membentuk gambaran mengenai dirinya seperti dicita-citakan
di masa mendatang. Oleh karena itu, Carl Roger mengemukakan adanya dua ragam
citra diri, yakni citra diri actual (the actualized self image) dan
citra diri ideal (the idealized self image). Yang dimaksud dengan citra
diri yang aktual adalah gambaran mengenai dirinya pada saat sekarang. Sedangkan
citra diri ideal adalah gambaran seseorang mengenai dirinya seperti yang
diidam-idamkan.
Sesuai dengan citra diri yang disebutkan di
atas, maka yang dimaksud dengan citra diri muslim adalah gambaran
seseorang mengenai dirinya sendiri, dalam artian sejauh mana ia menilai sendiri
kualitas kemusliman, keimanan, dan kemuhsinannya berdasarkan tolak ukur ajaran
Islam. Penilaian ini benar-benar tidak mudah dan mengandung subjektivitas yang
tinggi, tetapi hal ini dalam ajaran Islam sangat dianjurkan mengingat setiap
muslim wajib melakukan muhasabah (evaluasi diri), menghisab dirinya
sebelum ia dihisab di hari akhir.
Pemahaman dan Pengembangan Pribadi Muslim
Berbicara mengenai citra diri muslim, salah
satu masalah penting adalah aspek “the technical know-how, yakni
bagaimana, metode, proses, dan tindakan-tindakan terencana untuk mengembangkan
kualitas pribadi mendekati citra diri muslim yang ideal. Untuk itu dapat
dimanfaatkan prinsip-prinsip pelatihan “pemahaman dan pengembangan pribadi”.
Pelatihan ini pada dasarnya berupa rangkaian kegiatan untuk lebih menyadari
keunggulan dan kelemahan pribadi, baik yang potensial maupun yang sudah
teraktualisasi. Misalnya kemampuan, keterampilan, sikap, sifat, dambaan,
lingkungan sekitar-, untuk kemudian menumbuh-kembangkan hal-hal yang positif
serta mengurangi dan menghambat hal-hal yang negatif.
Latihan pemahaman dan pengembangan pribadi
dapat dilakukan secara sendirian dengan memfungsikan perenungan diri tanpa
melibatkan orang lain (solo training), dan dapat dengan kelompok dengan
memanfaatkakn umpan balik dan dukungan orang-orang lain semua anggota kelompok (group
training).
Ada bermacam-macam metode pemahaman dan
pengembangan pribadi, antara lain adalah:
1.
Pembiasaan,
yakni melakukan perbuatan secara terus-menerus secara konsisten untuk waktu
yang cukup lama., sehingga perbuatan itu benar-benar dikuasai dan akhirnya
menjadi suatu kebiasaan yang sulit ditinggalkan. Dalam istilah psikologi proses
pembiasaan disebut conditioning. Proses ini akan menjelmakan kebiasaan
dan kebisaan, akhirnya akan menjadi sifat-sifat pribadi yang terperangai dalam
kehidupan sehari-hari.
2.
Peneladanan,
mencontoh pemikiran, sikap, sifat-sifat, dan prilaku dari orang-orang yang
dikagumi untuk kemudian mengambil alihnya menjadi suatu sikap, sifat, dan
prilaku pribadi. Ada dua ragam bentuk peneladanan yaitu peniruan (imitation)
dan identifikasi (self identification). Peniruan adalah usaha untuk
menampilkan diri dan berlaku seperti prilaku dan penampilan orang yang
dikagumi, sedangkan identifikasi diri adalah mengambil alih nilai-nilai dari
tokoh-tokoh yang dikagumi untuk kemudian dijadikan nilai-nilai pribadi yang berfungsi sebagai pedoman dan arah
pengambangan diri.
3.
Pemahaman, penghayatan, dan penerapan, secara
sadar berusaha untuk mempelajari dan memahami secara benar nlai-nilai,
asas-asas, dan perilaku yang dianggap baik dan bemakna. Kemudian berusaha
meneladani, menjiwai, dan mencoba untuk menarapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
4.
Ibadah, ibadah khusus seperti shalat, puasa, zikir, dan
ibadah dalam arti umum, yakni berbuat kebaikan dengan niat semata-mata karena
Allah, secara sadar ataupun tidak sadar akan mengambangkan kualitas-kualitas
terpuji pada mereka yang melaksanakannya.
Seorang muslim yang
melakukan istiqomah, maka ia telah melakukan sebuah usaha yang berkaitan
dengan pengembangan pribadinya. Pengembangan pribadi adalah usaha terencana
untuk meningkatkan wawasan, pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang mencerminkan
kedewasaan pribadi guna meraih kondisi yang lebih baik lagi dalam mewujudkan
citra diri yang diidam-idamkan. Usaha ini dilandasi oleh kesadaran bahwa
manusia memiliki kemampuan untuk menentukan apa yang paling baik untuk dirinya
dalam rangka mengubah nasibnya menjadi lebih baik.
Prinsip ini sesuai dengan prinsip mengubah
nasib yang terungkap dalam firman Allah SWT:
إِنَّ
اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ... ...
“...Sesungguhnya Allah
tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri...” (QS. Ar-Ra’d [13]: 11)
Salah satu kegiatan pribadi adalah pelatihan
‘menemukan makna hidup’ yang kiranya dapat dimodifikasi untuk merancang program
pelatihan ‘menuju kepribadian muslim. Pelatihan menemukan makna hidup ini
didasari oleh prinsip-prinsip panca sadar yakni: 1) Sadar akan citra diri yang
diidam-idamkan; 2) Sadar akan kelemahan dan keunggulan diri sendiri; 3) Sadar
akan unsure-unsur yang menunjang dan menghambat dari lingkugan sekitar; 4)
Sadar akan pendekatan dan metode penghambatan pribadi; 5) Sadar akan tokoh
idaman dan panutan akan suri tauladan.[12]
Selain prinsip
tersebut di atas, dalam
pelatihan ini perlu dipahami benar pendekatan, metode dan teknik-teknik
pengembangan pribadi yang disebut “panca cara pengembangan pribadi” yaitu: pertama,
pemahaman diri; kedua, bertindak positif; ketiga, pengakraban
hubungan; keempat, pendalaman dan penetapan tri nilai; dan kelima, ibadah.
Pemahaman diri, berarti
mengenali secara obyektif kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan diri
sendiri, baik yang masih merupakan potensi maupun yang sudah teraktualisasi,
untuk kemudian kekuatan itu dikembangkan dan ditngkatkan serta
kelemahan-kelemahan dihambat dan dikurangi.
Bertindak positif, berarti
mencoba melaksakan dan menerapkan dalam prilaku dan tindakan-tindakan nyata
sehari-hari hal-hal yang dianggap baik dan bermanfaat.
Pengakraban hubungan, berarti
meningkatkan hubungan baik dengan pribadi-pribadi tertentu (misalnya anggota
keluarga, teman, rekan sekerja) sehingga masing-masing saling menghargai,
saling memerlukan satu sama lainnya, serta saling membantu.
Pendalaman tri nilai, berarti
berusaha untuk memahami dan memenuhi tiga macam nilai yang dianggap merupakan
sumber makna hidup yaitu, nilai kreatif , nilai penghayatan, dan nilai
bersikap.
Ibadah, berarti
berusaha melaksanakan apa yang diperintahkan Allah SWT dan mencegah diri dari
apa yang dilarang-Nya. Ibadah yang khusyu’ sering mendatangkan perasaan
yang tentram, mantap, dan tabah, serta tak jarang pula menimbulkan perasaan
seakan-akan mendapat bimbimngan dan petunjuk-Nya dan menghadapi berbagai
masalah kehidupan.
Kelima metode tersebut tujuannya untuk menjajagi sumber
makna hidup dari kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitarnya. Makna hidup
ini bila ditemukan dan berhasil dipenuhi diharapkan akan mendatangkan perasan
bermakna dan bahagia yang semuanya merupakan cerminan kepribadian yang mantap
dan sehat. Pendekatan ini dapat difungsikan dalam pelatihan “Menuju Kepribadian
Muslim”.[13]
Istiqomah dan Teori Motivasi
Dalam perspektif lain, istiqomah juga dapat
dikaitkan dengan teori motif. Motif berakar dari kata bahasa latin “movere”,
yang dalam bahasa inggris disebut “motive”, berasal dari kata “motion”,
yang artinya gerak atau dorongan untuk bergerak. Jadi, motif merupakan daya dorong, daya gerak, atau
penyebab seseorang untuk melakukan berbagai kegiatan dan dengan tujuan tertentu. Istilah motif pun erat
hubungannya dengan “gerak”, yaitu dalam hal ini gerakan yang dilakukan oleh
manusia atau disebut juga perbuatan atau tingkah laku. Motif dalam psikologi
berarti rangsangan, dorongan, atau pembangkit tenaga bagi terjadinya tingkah
laku.
Di samping istilah motif, dikenal pula dalam istilah
psikologi istilah motivasi. Motivasi (motivation) adalah keseluruhan dorongan,
keinginan, kebutuhan, dan daya yang sejenis yang mengarahkan perilaku.[14] Motivasi juga diartikan
satu variable penyelang yang digunakan untuk menimbulkan faktor-faktor tertentu
di dalam organism, yang membangkitkan ,mengelola, mempertahankan, dan menyalurkan
tingkah laku menuju satu sasaran.[15] Dalam diri seseorang,
motivasi berfungsi sebagai pendorong kemampuan, usaha, keinginan,[16] menentukan arah,dan
menyeleksi tingkah laku.
Winkel menyatakan
bahwa motivasi adalah motif yang sudah menjadi aktif pada saat tertentu.
Sedangkan maksud dari motif adalah daya penggerak dalam diri seseorang untuk
melakukan kegiatan tertentu demi mencapai suatu tujuan tertentu.[17] Sementara menurut
Sarlinto Wirawan Sarwono, motif berarti rangsangan, dorongan, atau pembangkit tenaga bagi
terjadinya tingkah laku. Sedangkan motivasi merupakan hal yang lebih umum,yang
menunjuk pada seluruh proses gerakan,
termasuk di dalamnya situasi yang mendorong timbulnya tindakan atau tingkah
laku individu.[18]
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat dirumuskan
bahwa motivasi merupakan istilah
yang lebih umum yang menunjuk kepada seluruh proses gerakan itu, termasuk
situasi yang mendorong, dorongan yang timbul dari diri individu, tingkah laku
yang ditimbulkan oleh situasi tersebut dan tujuan atau akhir gerakan atau perbuatan. Tegasnya, motivasi mengacu kepada faktor-faktor yang
menggerakan dan mengarahkan tingkah-laku.
Apabila teori motivasi ini dihubungkan dengan istilah
istiqomah, maka dapat disimpulkan bahwa seorang muslim yang melakukan istiqomah
itu berarti ia memiliki tujuan yang ingin dicapai dalam kehidupannya. Misalnya
tujuan yang berhubungan dengan rasa bahagia. Dalam konsep Islam kebahagiaan itu
berarti bila seseorang berhasil menjalankan kehidupannya di dunia baik dari
aspek dunia maupun yang berhubungan dengan aspek akhirat. Seseorang yang
memiliki motif demikian, tentu akan melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat
membawanya kepada arah kebahagian itu. Dan jika ia melakukan sesuatu kepada
arah tersebut, maka ia telah malakukan apa yang maksud dengan motivasi. Dan
jika dalam melakukan kegiatan tersebut secara terus-menerus untuk mencapai
kebahagian di dunia terlebih di akhrat, maka seseorang yang melakukan hal itu
dapat dikatagorikan telah beristiqomah dalam mencapai tujuannya.
Pendapat lain mengatakan bahwa motivasi mempunyai fungsi
sebagai perantara organisme atau manusia untuk menyesuaikan diri dengn lingkungnnya.
Suatu perbuatan dimulai dengan adanya ketidakseimbangan dalam diri individu.
Misalnya, lapar atau takut. Keadaan tidak seimbang ini tiodak menyenangkan
bagi individu yang bersangkutan ,
sehingga timbul kebutuhan untuk meniadakan ketidakseimbangan itu. Kebutuhan
inilah yang akan menimbulkan dorongan atau motif untuk berbuat sesuatu. Setelah
perbuatan itu dilakukan maka tercapilah keadaan seimbang dalam diri individu,
dan timbul perasan puas, gembira, aman dan sebagainya. Kecenderungan untuk
mengusahakan keseimbangan dari ketidakseimbangan terdapat dalam diri organisme
atau manusia. Ini disebut prinsip homeostatis.[19]
Jika dikaitkan prinsip homeostatis ini dengan
keadaan istiqomah dari individu maka awalnya ada perasaan yang ingin dicapai,
misalnya rasa gelisah atau frustasi, maka terjadilah ketidakseimbangan pada
diri individu yang mempunyai iman, maka jika ia ingin mnyelesaikan
problematisnya itu maka ia harus mencari jalan yang diajarkan oleh agama, misalnya
dengan mendekatkan diri kepada Allah dengan menggunakan metode berdzikir. Ini
akan mengakibatkan dalam diri seseorang itu muncul dorongan atau motif untuk
melakukan hal tersebut untuk menghilangkan kegelisahan atau frustasi yang
dialaminya. Jika ia berhasil mencapai keadaan yang seimbang karena melakukan
hal tersebut dan terus-menerus ia lakukan agar terhindar dari
ketidakseimbangan, maka ia telah beristiqomah untuk melakukan sesuatu.
Dalam pandangan psikologi behaviouristik, perilaku
manusia itu ditentukan dengan adanya stimulus dan respon. Perilaku seseorang
itu baik jika stimulus yang didapat oleh individu dari lingkungan itu baik,
sebaliknya perilaku seseorang itu buruk jika simulus atau rangsangan yang
didapat individu dari lingkungan itu buruk. Psikologi behaviour atau perilaku
memberikan kontribusi penting dengan ditemukannya asas-asas perubahan perilaku
yang banyak diamalkan dalam kegiatan pendidikan, psikoterapi, pembentukan
kebiasaan, perubahan sikap, dan penertiban sosial, melalui beberapa tahapan,
yaitu:
Pertama, Classical
Conditioning: suatu rangsangan akan
menimbulkan reaksi tertentu apabila rangsangan itu sering bersamaan rangsangan
yang lain yang secara alamiah menimbulkan pula reaksi tersebut. Dalam kaitannya
teori ini dengan istiqomah itu sendiri adalah suatu pembiasaan yang dilakukan
oleh individu akan meninggalkan bekas terhadap apa-apa yang telah kita lakukan.
Istoqomah itu sendiri adalah suatu pekerjaan yang dilakukan secara terus
menerus dalam hal beribadah kepada Allah. Bila dikaitkan dari teori ini, maka sesuatu yang menjadi
kebiasaan jika sewaktu-waktu ditinggalkan akan terjadi sesuatu yang ganjil
apabila tidak melakukan pekerjaan tersebut. Dengan kata lain, jika seorang
muslim ingin beristiqomah, maka ia bisa lakukan dengan cara membiasakan diri
mengerjakan suatu perbuatan. Misalnya, jika seorang muslim
senantiasa melakukan shalat tahajud tiap malam hari dan itu sudah menjadi
rutinitas setiap malam, maka jika aktivitas
itu tidak dilakukan suatu saat, maka
akan terjadi keganjilan. Dengan demikian, perilaku istiqomah bisa
dilakukan jika dibiasakan sebagaimana kata pepatah; alah bisa karena biasa.
Kedua, Law of effect
(hukum akibat): perilaku yang menimbulkan
akibat-akibat yang memuaskan si pelaku cendrung akan diulangi, perilaku yang
akibat-akibatnya dapat merugikan si
pelaku cenderung akan ditinggalkan. Jika teori dikaitkan dengan istiqomah, maka mungkin saja seseorang yang melakukan
istiqomah, kemudian istiqomah itu dapat menimbulkan ketenangan-ketenangan dalam
diri individu, maka menurut konsep ini sesuatu itu akan terus menerus
dikerjakan.
Ketiga, Operant
conditioning (pembiasaan operant): suatu perilaku akan
menjadi mantap apabila dengan perilaku itu berhasil diperoleh hal-hal yang
diinginkan si pelaku (penguat positif), atau mengakibatkan hilangnya sesuatu
yang tak diinginkan (penguat negatif). Di lain pihak suatu pola perilaku
tertentu akan menghilang apabila perilaku itu mengakibatkan hal-hal yang tidak
menyenangkan (hukuman), atau mengakibatkan hilangnya hal-hal yang menyenangkan
si pelaku (penghapusan). Dapat kita simpulkan bahwa perilaku seseorang itu
positif jika ada penguat yang dapat menguatkan seseorang itu untuk berperilaku,
dan perilaku itu akan ditinggalkan si pelaku apabila ada hukuman jika ia
melakukan hal-hal tersebut. Kaitannya
dengan istiqomah itu sendiri bahwa istiqomah itu dapat diajarkan kepada
anak-anak sejak dini, dengan cara,
misalnya memberikan hadiah jika anak itu
melakukan hal-hal yang baik, seperti
shalat. Penguat dalam konteks ini adalah hadiah itu sendiri. Sedangkan jika ia
melakukan kesalahan yang kesalahan itu ada hubungannya dengan agama, seperti
tidak melakukan shalat, maka berikan anak itu hukuman yang dapat membuat ia
tidak mengulangi lagi perbuatan tersebut. Jadi istiqomah itu dapat dilatih
sejak dari kecil agar hal itu akan kembali lagi menjadi sebuah kebiasaan yang
sulit ditinggalkan.
Keempat, Modelling
(peneladanan): dalam kehidupan sosial
perubahan perilaku terjadi kaarena proses dan peneladanan terhadap perilaku
orang lain yang disenangi dan dikagumi.[20]
Dengan demikian, apabila seseorang ingin melakukan istiqomah dengan cara
meneladani orang yang dikagumi, seperti Rasulullah SAW.,yang notabene Beliau adalah seorang yang
dikagumi banyak manusia baik dari orang Islam maupun dari luar Islam. Artinya, seseorang
yang dikagumi oleh orang lain, maka kecenderungan perilaku orang yang mengagumi itu akan mengikuti perilaku orang
yang dikagumi.
Penutup
Berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW dapat dipahami bahwa esensi Islam adalah keimanan dan
istiqomah. Islam sejatinya adalah pemahaman terhadap norma-norma ajaran
Islam dan keyakinan terhadap kebenaran
nilai-nilainya yang akan membentuk kesadaran seorang muslim yang
termanifestasikan dalam sikap mental positif
dan perilaku yang baik dalam membina hubungan dengan Allah, sesama
manusia dan alam.
Berdasarkan hadist tersebut, kata istoqomah yang berarti
berpegang teguh kepada Allah, bila ditinjau dari aspek psikologi dapat
dikaitkan dengan term kosep diri (self concept). Di mana kosep diri itu sendiri erat kaitannya
dengan bagaimana kita berperilaku agar dapat sesuai dengan yang telah kita susun dan konsepkan di dalam diri kita.
Sesuai dengan konsep diri yang telah dielaborasi di atas, maka yang dimaksud dengan konsep diri seorang Muslim adalah gambaran seseorang mengenai dirinya sendiri,
dalam artian sejauh mana ia menilai sendiri kualitas kemusliman, keimanan, dan
kemuhsinannya berdasarkan tolak ukur ajaran Islam. Penilaian ini benar-benar
tidak mudah dan mengandung subjektivitas yang tinggi, tetapi hal ini dalam
ajaran Islam sangat dianjurkan mengingat setiap muslim wajib melakukan muhasabah
(evaluasi diri), menghisab dirinya sebelum ia dihisab di hari akhir.
Dalam perspektif lain, istiqomah juga dapat dikaitkan dengan teori
motif. Motif berarti gerakan atau sesuatu yang bergerak. Istilah motif erat
hubungannya dengan “gerak”, yaitu dalam hal ini gerakan yang dilakukan oleh
manusia atau disebut juga perbuatan atau tingkah laku. Motif dalam psikologi
berarti rangsangan, dorongan, atau pembangkit tenaga bagi terjadinya tingkah
laku.
Demikian paparan tentang istiqomah yang memiliki
relevansi dengan teori konsep diri dan motivasi. Seorang muslim yang beriman
dan beristiqomah akan memiliki konsep diri dan citra diri yang positif dalam
melakukan relasi yang harmoni dengan Allah, sesama manusia dan alam semesta. Di
samping itu, seorang muslim yang memiliki sikap istiqomah juga akan termotivasi
untuk selalu menjadi seorang muslim yang baik dan mampu memposisikan dirinya
secara tepat dalam konteks sebagai hamba
Allah (‘Abdullah) dan sebagai wakil Allah
(Khalifah Allah) di muka bumi dalam menyemai kebenaran dan keadilan demi
menggapai ridha Allah dan kebermaknaan hidup.Wallahu A’lamu bi al-Shawab. []
DAFTAR BACAAN
Abu Husain Muslim bin Hajjaj Al Qusyairi Al-Naisaburi, Shahih
Muslim, (Beirut: Dar Ihya’
Turas Arabi, t.th.)
Al-Bugha, Mustafa, Syarah Hadis
40 Imam Nawawi, (Kuala Lumpur: Pustaka Salam, 1995)
Bustaman, H. Djumhana, Integrasi
Psikologi Dalam Islam, (Jogjakarta: Yayasan Insan Kamil, 2005)
Chaplin, James P., Kamus Lengkap Psikologi, terj. Kartini Kartono, judul asli “Dictionary of
Psychology”, (Jakarta: Rajawali,
1999)
Daradjat, Zakiah, Ilmu
Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987)
Hodgetts, Richard M., dan
Kurako, Donald F., Management, (Sandiego: Harcourt Brace Pub., 1988)
Mubarok,
Ahmad. Psikologi Islam: Kearifan dan Kecerdasan Hidup, (Jakarta: The IIT
dan WAP, 2009)
Pulungan, J. Suyuthi, Universalisme
Islam, (Jakarta: MSA, 2002)
Sarwono,
Sarlito Wirawan, Pengantar Umum Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984)
Shihab, Quraish, Ensiklopedi al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 1997)
Sobur, Alex, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta: Prenada Media, 2002)
Syaltut, Mahmud, Al-Islam Aqidah Wa
Syari’ah, (Kairo: Dar al-Qalam, 1966)
ODonnel, Harold Koontz dan Weihrich, Heinz, Management, (McGraw: Hill Kogaguska, 1980)
Winkel, W.S., Psikologi Pengajaran , (Jakarta:Gramedia Widiasarana Indonesia,
1996)
Yasid, Abu, Islam
Akomodatif, (Yogyakarta: LKiS, 2004)
[3] Mahmud Syaltut, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah, (Kairo: Dar al-Qalam, 1966),
h. 11-12
[6]Abu Husain Muslim bin Hajjaj Al Qusyairi Al-Naisaburi, Shahih
Muslim, (Beirut: Dar Ihya’
Turas Arabi, t.th.), juz 1, h. 145;
Mustafa Al-Bugha, Syarah Hadist 40 Imam Nawawi, (Kuala Lumpur: Pustaka
Salam, 1995), h. 226
[9] Ahmad Mubarok, Psikologi
Islam: Kearifan dan Kecerdasan Hidup, (Jakarta: The IIT dan WAP, 2009), h.
216
[12]Hanna Djumhana Bastamam, Integrasi
Psikologi Dengan Islam, (Yogyakarta:
Yayasan Insan Kamil, 2005),
h. 123
[15]James P.Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, terj. Kartini Kartono, judul
asli “Dictionary of Psychology”, (Jakarta: Rajawali, 1999), h.310
[16] Richard M.Hodgetts dan Donald F. Kurako, Management, (Sandiego: Harcourt Brace Pub., 1988), h. 284
Tidak ada komentar:
Posting Komentar