PERBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN
DI DAERAH TERTINGGAL
Pembangunan daerah tertinggal adalah bagian
integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan melalui prinsip otonomi
daerah yang luas dengan pengaturan sumber daya yang adil dan merata, sehingga
memberi kemungkinan besar bagi daerah tertinggal untuk berkembang secara mandiri dan berkesinambungan. Maka dari itu sudah selayaknya apabila
sumberdaya yang dimiliki dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Kemiskinan di daerah
tertinggal merupakan masalah pembangunan yang berkaitan dengan berbagai bidang
pembangunan lainnya. Kemiskinan yang terjadi disebabkan oleh dua kondisi utama
yaitu kebijakan pemerintah yang belum berpihak pada masyarakat miskin dan
rendahnya kemampuan masyarakat miskin untuk melepaskan dirinya dari jerat
kemiskinan itu sendiri. Ketidak mampuan masyarakat miskin ini sering disebut
dengan ketidak berdayaaan.
Kemiskinan merupakan bagian dari
masyarakat miskin yang kondisinya sangat rentan sehingga perlu mendapat
prioritas penanganan. Pemberdayaan masyarakat berarti juga pemberdayaan orang
miskin. Pemberdayaan Masyarakat merupakan salah satu strategi nasional guna
pemenuhan kewajiban negara terhadap hak azasi manusia terutama dalam pemenuhan
kebutuhan dasar manusia seperti pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan dan
dan pendidikan dasar. Untuk menjamin
kesinambungan ketersediaan kebutuhan tersebut dari dan untuk masyarakat maka
pemberdayaan masyarakat juga diarahkan guna mewujudkan sistem ekonomi kerakyatan
yang berkeadilan sosial.
Kemiskinan juga
merupakan persoalan multidimensi yang mencakup politik, sosial, lingkungan,
ekonomi maupun aset. Dalam kesehariannya, dimensi itu dapat dijelaskan dengan
berbagai bentuk representasinya. Dimensi sosial-politik mewujud pada tidak
dimilikinya wadah kelembagaan masyarakat yang mampu memperjuangkan aspirasi dan
kebutuhan Masyarakat miskin. Hal ini mengakibatkan mereka tersingkir dari
proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri mereka sendiri. Lebih jauh lagi,
segala usaha yang mereka lakukan tidak mempunyai akses (termasuk informasi)
yang memadahi ke berbagai sumberdaya kunci yang dibutuhkan untuk meningkatkan
taraf hidup yang layak. Sementara itu, dimensi sosial muncul dalam bentuk tidak
terintegrasinya masyarakat miskin dalam institusi sosial yang ada sehingga
membuat terinternalisasinya budaya miskin yang pada akhirnya merusak kualitas
dan etos kerja.
Pada dimensi ekonomi,
tampil dengan bentuk rendahnya penghasilan, sehingga tidak mampu untuk memenuhi
kebutuhan mereka sampai batas yang layak. Semuanya itu berujung pada dimensi
aset yang ditandai dengan rendahnya kepemilikan masyarakat miskin terhadap berbagai hal yang
mampu menjadi modal hidup mereka, termasuk aset sumberdaya manusia, peralatan
kerja, modal, peluang pasar dan sebagainya.
Secara lebih jauh indikator dan penyebab
kemiskinan masyarakat, yang secara umum adalah sebagai berikut :
Deprivasi materiil, yang diukur dari
kurangnya pemenuhan kebutuhan akan pangan, sandang, kesehatan, papan, dan kebutuhan
konsumsi dasar lain.
Isolasi, dicerminkan oleh
lokasi geografiknya maupun oleh marginalisasi rumah tangga miskin secara sosial
dan politik. Masyarakat sering tinggal di daerah yang
terpencil dengan sarana transportasi dan komunikasi yang minim.
Alienasi, yaitu perasaan tidak
punya identitas dan tidak punya kontrol atas diri sendiri. Hal ini timbul
akibat isolasi dan hubungan sosial yang eksploitatif. Walaupun proses
pembangunan terus berjalan dan menghasilkan teknologi baru, mereka tidak bisa
ikut serta mengakses dan memanfaatkannya. Mereka kekurangan kecakapan yang bisa
‘dijual’.
Kelangkaan
asset, membuat penduduk miskin dalam bekerja
dengan tingkat produktivitas yang sangat rendah.
Kerentanan,
baik kerentanan terhadap guncangan eksternal maupun terhadap konflik-konflik
sosial internal juga sangat berpengaruh terhadap status kemiskinan penduduk
pedesaan. Kerentanan itu bisa timbul karena faktor alamiah (kemarau panjang,
banjir, hama), karena perubahan pasar (merosotnya harga komoditi), kondisi kesehatan
(penyakit), dan sebagainya.
Ketergantungan,
merupakan hal yang selama ini memerosotkan kemampuan si miskin untuk ‘bargaining’
dalam dunia hubungan sosial yang sudah timpang, dimana masyarakat miskin
cenderung menunjukkan ketidakmampuan membuat keputusan sendiri dan tiadanya
kebebasan memilih dalam produksi, konsumsi, dan kesempatan kerja.
Kurangnya
perwakilan sosio-politik, menyebabkan rendahnya
aspirasi masyarakat miskin untuk dapat ditampung dalam kebijakan yang berdampak
pada rendahnya fleksibilitas dan berkurangnya kesempatan bagi si miskin. Dalam
kondisi ini, buruh tidak punya kemampuan untuk menetapkan upah serta petani
tidak bisa menetapkan harga hasil taninya.
Tidak
adanya jaminan keamanan, khususnya dari tindak
kekerasan akibat status sosial rendah, karena lemah, karena faktor-faktor
agama, ras, etnik.
Mengacu pada hal
tersebut serta kaitannya dengan permasalahan pembangunan sumber daya alam, maka
terdapat 3 (tiga) pendekatan yang dapat digunakan untuk dapat mengenali anatomi
kemiskinan masyarakat. Ketiga pendekatan tersebut adalah pendekatan struktural,
kultural, dan alamiah.
Mengacu pada uraian
di atas, maka proses pengentasan kemiskinan memerlukan pendekatan komprehensif
dengan langkah-langkah kebijakan yang bersifat menyeluruh, baik
secara stuktural, kultural, dan alamiah. Dalam perspektif lain, bahwa proses
pemberdayaan masyarakat yang berhasil haruslah dijiwai oleh 4 (empat) aspek
yang dikenal dengan 4 (empat) bina, yaitu bina manusia, lingkungan, usaha,
serta bina sumber daya.
*Ketua
Pusat Pengembangan Bisnis (P2B) IAIN Mataram
Tidak ada komentar:
Posting Komentar